Teknologi

IMM dan Kesadaran Melahirkan Pemikir Muslim

IMM dan Kesadaran Melahirkan Pemikir Muslim
Muhamad Bukhari Muslim.(Dokpri)

BARANGKALI, jika ada perhatian yang sering luput saat memotret Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), itu adalah tentang pentingnya melakukan kaderisasi dan membangun iklim diskusi yang menopang bagi lahirnya pemikir-pemikir muslim dari rahim Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

 

Padahal, isu ini termasuk penting untuk dibahas dan dikaji di forum seperti Muktamar. Sebab yang kita inginkan dari Muktamar bukan hanya sekadar pergantian roda kepemimpinan, tetapi juga perumusan dan pemajuan gerak IMM di dapat terus menjadi organisasi yang relevan dengan tantangan masa depan. 

Isu ini, perlahan tapi pasti, mulai digerus oleh isu-isu krusial seperti digitalisasi, politik, ekonomi dan sebagainya. Kita tentu tak menyebut isu-isu itu tak penting. Akan tetapi, langkah yang tepat untuk diambil ialah, tetap mengejar isu-isu aktual sembari tetap mengerjakan pekerjaan rumah, yakni memproduksi pemikir-pemikir muslim yang punya visi keislaman dan kebangsaan yang berkemajuan.

Pekerjaan ini menjadi kelihatan semakin penting dengan melihat animo masyarakat, khususnya anak muda, dalam belajar agama. Kita tak boleh menutup mata atas gerakan-gerakan keagamaan yang hari ini berkembang dan dominan di kalangan anak muda, yang kebanyakan adalah berhaluan konservatif. Kader-kader IMM harus ambil peran dalam membendung dan mengimbangi gerakan-gerakan tersebut. Dan salah satu modalnya, adalah memiliki basis pengetahuan keislaman yang mumpuni dan memadai.   

Baca juga : Lima Poin Pernyataan PP Muhammadiyah terkait Pemilu 2024

IMM dan diskursus pemikiran Islam

Dalam satu kesempatan di momen milad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), pernah dengan bangga menyebut IMM sebagai corong intelektual Muhammadiyah. Sebab di organisasi inilah, para kader akan ditempa dengan diskusi-diskusi dan tukar tambah gagasan serta bacaan yang umumnya menjadi tradisi mahasiswa. 

Harapan dan kebanggaan itu seyogianya harus disambut dengan baik, yang di antaranya selain melahirkan pemikir-pemikir yang punya visi kebangsaan dan kenegaraan yang kokoh, juga harus paham hal-ihwal keislaman. Sebab IMM tak boleh lupa dengan jati dirinya sebagai organisasi mahasiswa yang berbasis dan berasas Islam. 

Ahmad Fuad Fanani, cendekiawan muda Muhammadiyah, pernah menyampaikan kegusaran dan kritiknya tentang melunturnya diskursus keislaman di IMM. Salah satu yang disorot Fanani ialah, tentang seberapa akrab kader-kader IMM dengan wacana-wacana keislaman yang berkembang di dunia Islam? Apakah kader IMM masih akrab dengan nama-nama raksasa pemikir Islam seperti Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Arkoun dan pemikir lainnya? 

Baca juga : Haedar Nashir Ajak Semua Pihak Menghormati Pilihan Rakyat

Sebagai calon pemikir, lebih-lebih pemikir Islam, kader IMM harusnya akrab dengan bacaan-bacaan tokoh semacam itu. Sebab, bacaan-bacaan itu merupakan piranti dan perangkat yang cukup memadai untuk memotret wacana keagamaan yang sedang berkembang dan sejalan dengan visi Islam berkemajuan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah.       

Menguatkan basis metodologis

Untuk mewujudkan cita-cita melahirkan pemikir muslim, tentu kita akan dihadapkan pada satu pertanyaan perting, yakni memulai dari mana? Mengingat wacana dan diskursus keislaman merupakan hutan belantara yang sangat luas. Karena itu, sebagaimana diajarkan para sarjana Islam, kita mesti mendahulukan metodologi (perangkat berpikir) daripada materi (al-thariqatu ahammu minal maddah).

Mengakrabkan kader IMM dengan wacana-wacana keislaman yang bersifat metodologis, atau dapat menjadi pisau analisis adalah bagian tak terelakkan untuk menopang lahirnya pemikir-pemikir muslim. Dari yang paling dasar, kita bisa mengenalkan kader-kader IMM tentang ilmu mantik (logika), pengantar filsafat dan filsafat ilmu. Mengakrabkan diri pada tiga sub-ilmu ini adalah keniscayaan. Sebab, melalui perangkat-perangkat inilah, kader IMM dapat dilatih dan menemukan panduan berpikir logis, kritis dan analitis. 

Baca juga : Masa Tenang Jelang Pemilu, BEM PTMA-I Zona 3 Serukan Junjung Prinsip Demokrasi Bersih dan Berkeadilan

Sedangkan untuk tahap lebih lanjut, di dapat lebih mematangkan pemahaman pada wacana keislaman, kader IMM bisa mulai berkenalan dan mendaras buku-buku keislaman, yang disusun oleh pemikir-pemikir keislaman kontemporer seperti Fazlur Rahman dan teori double movement-nya, Khaled Abou El-Fadl dan hermeneutika negosiatifnya, Amina Wadud dan teori penafsiran ramah gendernya, Abdullah Ahmed an-Naim dan gagasan relasi agama dan negaranya, Abid al-Jabiri dan kritik nalar Arabnya, serta Hassan Hanafi dan hermeneutika pembebasannya.

Pemikiran tokoh-tokoh itu penting untuk didaras di IMM. Sebab, isu-isu keagamaan yang hari ini berkembang tidak jauh berbeda dari apa yang pernah mereka sampaikan. Dari Rahman kader IMM belajar memahami makna teks agama (Al-Quran dan sunnah) secara kontekstual, dari El-Fadl kader IMM belajar memahami agama secara otoritatif, dari Wadud kader IMM belajar mendekati Al-Quran dengan penafsiran yang ramah perempuan, dan dari al-Jabiri kader IMM belajar, bahwa ada unsur lokalitas dalam pemahaman keagamaan yang hari ini berkembang.  

    

Pendahulu-pendahulu kita telah melakukan dan melewati bacaan-bacaan semacam itu. Pemikir-pemikir muslim seperti Sukidi, Ahmad Najib Burhani, Andar Nubowo, Zakiyuddin Baidhawy dan Pradana Boy, adalah sekian dari contoh jebolan IMM yang sebelumnya telah ditempa dan digodok dengan wacana keislaman yang bersifat metodologis. 

Dengan rasa gusar bercampur harap, kita tentu berharap di dapat IMM tidak berhenti dalam memproduksi dan melahirkan kader-kader pemikir muslim. Selain karena jati diri kita sebagai organisasi mahasiswa Islam, kita juga mempunyai beban moral dan sejarah untuk terus menghadirkan nilai-nilai agama yang berkemajuan dalam berwarnai arah serta pembangunan bangsa ke depan.


Source link

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button